Kamis, 25 September 2014

MAKALAH TENTANG KERAJAAN SAFAWIYAH

MAKALAH PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI SAFAWIYAH Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam Disusun oleh: Dewi Rahmawati 13109348 Dwi Apriliani Tia Indah Pranita 13111048 Perbankan Syari’ah/C Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro 1435 H / 2014 M KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, tiada Tuhan yang pantas disembah melainkan Dia. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikut beliau. Utusan Allah serta uswatun hasanah bagi seluruh umat muslim. Amin Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Sejarah Peradaban Islam dengan judul “Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Safawiyah”. Penulis menyadari Makalah ini jauh dari sempurna, masih banyak kekurangan atas kekeliruan didalamnya. Penulis berharap , kritik dan saran yang membangun dapat disampaikan agar dalam penyusunan pada waktu yang akan datang dapat lebih baik lagi. Atas segala bantuan dan bimbingan dari semua pihak, kami mengucapkan terima kasih semoga Allah SWT membalas segala budi baik dan jasa-jasa mereka. Amin Metro, 16 Mei 2014 M 16 Jumadil Akhir 1435 H Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang b. Rumusan Masalah c. Tujuan BAB II PEMBAHASAN a. Asal-usul Dinasti Safawiyah b. Perubahan dari Sistem Sosial-Organik ke Sistem Religio-Politik c. Peran Dinasti Safawiyah bagi Peradaban Islam d. Kemajuan dan Kemunduran Kerajaan Safawiyah BAB III PENUTUP a. Kesimpulan b. Saran DAFTAR PUSTAKA BAB I Pendahuluan A. Latar belakang Shafawiyah adalah salah satu dari ketiga kekhalifan atau kerajaan islam yang dikategorikan besar didunia islam pada abad pertengahan. Keadaan politik umat islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah dan berkembang nya 3 kerajaan besar yaitu usmani di turki, mughol di india dan shafawiyah dipersia. Dimasa 3 kerajaan besar ini kejaaan masing-masing terutama dalam bentuk literatur dan arsitek. Masjid-masjid yang didirikan kerajaan ini masih dapat dilihat diistanbul,tibriz dan isfaham serta kota-kota lain diiran dan delhi.kemajuan umat islam dizaman ini lebih banyak merupakan warisan kemajuan pada masa periode klasik. Perhatian di ilmu pengetahuan masih kurang. Tentu saja bila dibandingkan kemajuan yang dicapai pada masa dinasti abbasiyah, khusus nya dibidang ilmu pengetahuan. Ada dua aspek menarik dari pengkajian sejarah Kerajaan Safawi pertama lahir kembali Dinasti safawi adalah kebangkitan kembali kejayaan islam,sebelumnya pernah mengalami masa kecemerlangan. Kedua Dinasti Safawi telah memberikan iran semacam negara nasional dengan identitas baru yaitu aliran syiah yang menurut G.H.Jansen merupakan landasan bagi perkembangan nasionalisme iran modern. Kerajaan Safawi disebelah barat berbatasan dengan kerajaan usmani dan disebelah timur berbatasan dengan india yang pad waktu itu dibawah berada dibawah pemerintah kerajaan mughol. Kekhalifahan ini berpusat dipersia (iran). Nama safawi berasal dari seorang pemimpin tarekat yang bernama Syekh Safiuddin Ardabeli (1252-1334 M) dari Ardabil, sebuah kota diazerbaijan, persia barat laut. Nama safawi terus dipertahankan sampai menjadi gerakan politik, bahkan sampai berhasil membentuk atau mendirikan sebuah kerajaan. Pada mula nya tarekat ini tarekat ini bersifat lokal namun lama-lama menjadi gerakan keagamaan yang sangat berpengaruh dipersia dan sekitarnya. Dibanding dengan masa turki usmani, masa pemerintahan safawi tidak terlalu lama, sekitar dua setengah abad kurang sedikit, yakni sejak pemerintahan Ismail pada 1501 M hingga akhir pemerintahan abbas III pada 1736 M. Kerajaan ini mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Abbas I (1588-1828 M). Namun pada akhirnya kemajuan yang pernah dicapai oleh Abbas I segera menurun. Beberapa wilayah lepas dari kekuasaan sebab raja-raja setelah Abbas I lemah semua. B. Rumusan Masalah Permasalahan-permasalahan yang akan kami angkat pada pokok bahasan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah proses pembentukan Dinasti Safawiyah? 2. Apa saja perkembangan-perkembangan yang telah dicapai pada masa kerajaan shafawiyah? 3. Bagaimanakah akhir pemerintahan Dinasti safawiyah? 4. Sebutkan faktor-faktor kemunduran Dinasti safawiyah? C. Tujuan Dalam makalah Sejarah Peradaban Islam dengan judul,” Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Safawiyah”, mempunyai tuhuan: 1. Mengetahui sejarah pembentukan dan perkembangan pada Dinasti Safawiyah. 2. Memberikan pengajaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemajuan dari Dinasti Safawiyah. 3. Memberikan gambaran akhir dari perjuangan Dinasti Safawiyah. BAB II PEMBAHASAN A. Asal –Usul Dinasti Safawiyah Terdapat kontroversi mengenai etimologi Kerajaan Safawiyah. Menurut Sayid Amir Ali, kata safawi berasal dari kata Shafi, suatu gelar bagi nenek moyang raja-raja safawi: Shafi Al-Din Ishak Al- Ar-Dabily, pendiri dan pemimpin tarekat safawiyah. Amir Ali beralasan, bahwa para musafir, pedagang dan penulis Eropa selalu menyebut raja-raja safawi dengan gelar Shafi Agung. Sedang menurut P.M. Holt dan kawan-kawan safawi berasal dari kata shafi, yaitu bagian nama Shafi Al-Din Ishak Al- Ardabily sendiri. Dinasti Safawiyah di Persia berkuasa antara tahun 1502-1722 M. Tatkala Syah Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja atau syah di Tabriz., demikian antara lain pendapat C.E. Bosworth. Namun, event sejarah yang penting itu tidaklah berdiri sendiri. Peristiwa tersebut berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya dalam rentang waktu yang cukup lama, yakni kurang lebih dua abad. Waktu yang hampir sama dengan usia Kerajaan Safawi sendiri. Selama masa itu, cikal bakal safawi tumbuh lambat laun, tetapi pasti menuju zaman yang penuh dengan muatan historis yang sangat penting. Dinasti Safawiyah merupakan kerajaan Islam di Persia yang cukup besar. Awalnya Kerajaan Safawiyah berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijian. Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Shafi Ad-Din Ishak Al-Ardabily (1252-1334 M), enam tahun sebelum Hulagu Khan menghancurkan Bagdad dan mengakhiri Dinasti Abbasiyah. Ia lahir di kota Ardabil, sebuah kota timur dari Azerbajian. Sejak kecil ia sudah mengemari amalan keagamaan dan kehidupan sufisfik. Pada usia 25 tahun, ia memiliki banyak keramat menurut pengikut-pengikutnya. Nama Safawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni Kerajaan Safawi. Shafi Ad-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Shafi Ad-Din merupakan keturunan dari Imam Syiah yang keenam, Musa Al-Kazhim. Pada usia 25 tahun, ia berguru pada seorang sufi yang bernama Syaikh Tjajuddin Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani. Dikarenakan prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, ia diambil menantu oleh gurunya tersebut. Shafi Ad-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Adapun mengenai asal usul keturunan Shafi Al-Din Al-Ardabily ini masih merupakan problematika kontroversial. Menurut sumber dari keluarga Safawi, Shafi Al-Din Al-Ardabily adalah keturunan dari Musa Al-Kazhim , imam ketujuh dari Syi’ah Imamiyah yang dua belas. Oleh karena itu, ia termasuk keturunan Rasulullah Saw. dari garis puterinya, Fatimah. Akan tetapi, menurut pendapat lain Shafi Al-Din adalah seorang penduduk asli Iran dari Kurdistan yang berbahasa Turki yang dipakai di wilayah Azerbajian. Ia dianggap beraliran syi’ah tetapi juga sunni yang bermazhab Syafi’iah, sedangkan penggantinya yang kedua yaitu Khawaja Ali merupakan penganut Syi’ah moderat. Jika ditinjau dari segi doktrin atau ajaran, kedua pendapat yang kontroversial itu ada kemungkinan benarnya. Dalam ajaran syiah dikenal dengan apa yang disebut taqiyyah, yaitu keharusan menyembunyikan identitas diri sebagai penganut aliran syiah pada saat yang tidak memungkinkan untuk berterus terang. Dengan demikian, bisa saja Shafi Al-Din seorang Muslim beraliran syiah yang melakukan taqiyyah saat itu karena melihat ketidakkemungkinannya untuk berterus terang. Demikian pula asumsi bahwa ia seorang muslim sunni yang bermazhabkan syafi’i karena pendiri mazhab itu disamping sebagai seorang muslim yang mencintai ahlul bait, juga seorang keturunan suku quraisy yang tidak banyak permusuhannya dengan kaum syi’ah.Dalam realitas politik, praktik tahlil yang diamalkan kaum muslimin syafi’iah, sebenarnya lebih merupakan warisan doktrin syiah ketimbang ajaran sekte syafi’iah. Apalagi jika dilihat dari identitas yang menonjol pada pribadi Shafi Al-Din sebagai seorang sufi besar. Bukankah dalam dunia tasawuf, perbedaan aliran sunni dan syi’ah bukanlah merupakan perbedaan yang esensial. Karena dalam sistem tasawuf (tarekat) merupakan tradisi titik temu antara tradisi sunni dan syiah. Demikian pula, antara tasawuf dan sekte syiah memiliki persamaan asal usul dan sumber ajaran sehingga konversi mazhab yang terjadi pada pemimpin safawi seperti Khawaja Ali bukan merupakan sesuatu yang luar biasa. Kendati demikian, jika melihat epilog penyerbuan Hulagu Khan pada paruh kedua abad XIII M, dimana daerah Azerbajian termasuk salah satu wilayah yang diwariskan panglima itu kepada anak-anaknya yang pada umumnya belum masuk Islam, kemungkinan Shafi Al-Din sebagai penganut Syi’ah kurang adanya tindakan menekan terhadap kalangan penganut syiah, baik oleh penguasa ataupun masyarakat muslim sendiri. Tekanan terhadap pemimpin safawiyah yang bercorak syiah, baru dilakukan oleh Jahansyah, penguasa Kerajaan Kara Koyunlu yang bermazhab syiah pada 1447 M, pada masa Junaid bin Ali (pemimpin safawi berikutnya) meninggalkan kota Ardabil karena Junaid telah mengubah safawi menjadi gerakan politik. Sejak Shafi Al-Din mulai memimpin ribath dan mendirikan tarekat safawiyah pada 1301 M sampai kepada Syah Ismail I memproklamatirkan berdirinya Kerajaan Safawi pada tahun 1502 M,telah banyak pengalaman keluarga safawi dalam perjuangan menegakkan cita-cita selama dua abad. Paling tidak, ada dua tahap perjuangan yang dilalui mereka. Pertama, sebagai gerakan keagamaan (kultural) dan kedua, sebagai gerakan politik (struktural). Pada masa 1301-1447 M (700-850 H) Gerakan safawi masih murni gerakan keagamaan (kultural) dengan tarekat safawiyah sebagai sarannya. Selama masa ini safawi memiliki pengikut yang besar, tidak hanya di Persia tetapi juga sampai ke Syria dan Anatolia. Mayoritas pengikut-pengikutnya adalah suku –suku Turkman yaitu diantaranya suku Ustajlu, Rumlu, Shamlu, Dulgadir, Takkalu, Ashfar dan Qajar. Pada fase pertama ini, gerakan safawiyah tidak mencampuri masalah politik sehingga ia berjalan dengan aman dan lancar, baik pada masa Ikhwan maupun pada masa penjarahan Timur Lenk. Dalam konstelasi politik yang paling suram itu, dapat dimengerti mengapa kehidupan tarekat sufi dapat tumbuh subur dan mendapat simpati masyarakat banyak. Umat umumnya hidup dalam suasana apatis dan pasrah melihat anarki politik yang berkecambuk. Hanya dengan kehidupan keagamaan lewat sufisme, mereka mendapat kekuatan mental. Hanya lewat persaudaraan tarekat mereka merasa aman dalam menjalin persaudaraan antar-muslim. Menurut P.M. Holt, selama fase pertama ini gerakan safawi mempunyai dua warna. Pertama, bernuansa sunni, yaitu pada masa pimpinan Shafiudin Ishak(1301-1344 M) dan anaknya Shadruddin Musa (1344-1399 M). Kedua, berubah menjadi syiah pada masa pimpinan Khawaja Ali anak Shadruddin (1399-1427 M). Perubahan tersebut tampaknya wajar saja terjadi karena di samping alasan yang sudah disebutkan, juga ada kemungkinan bertambahnya pengikut safawiyah di kalangan syiah sehingga kepemimpinannya berusaha menyesuaikan diri dengan aliran mayoritas pendukungnya. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “ahli-ahli bid’ah”. Tarekat yang dipimpin Shafi Ad-Din ini semakin penting terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan kenamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria, dan Anatolia. Di negeri-negeri luar Ardabil, Shafi Ad-Din menempatkan seorang wakil untuk memimpin murid-muridnya. Wakil tersebut diberi gelar khalifah. Berbeda dari dua kerajaan Islam lainnya (Usmani dan Mughal), Kerajaan ini mengatakan Syi’ah sebagai mazhab negara. Karena itu, kerajaan ini dapat dianggap sebagai peletak pertama dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini. Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerapkali menimbulkan keinginan di kalangan ajaran itu untuk berkuasa. Oleh karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab selain Syi’ah. B. Perubahan dari Sistem Sosial-Organik ke Siatem Religio-Politik Pada masa 1447-1501 M, gerakan safawi memasuki tahap atau fase kedua, yaitu gerakan politik (struktural). Pimpinannya pada waktu itu adalah Junaid bin Ali, mengubahnya menjadi gerakan politik revolusioner dengan tarekat safawiyah sebagai sarannya. Dengan demikian, safawi mulai terlibat dalam konflik politik dengan kekuatan politik lain yang ada di Persia saat itu. Ada dua buah kerajaan Turki yang saat itu berkuasa, Kara Koyunlu atau black sheep (domba hitam) yang berkuasa dibagian timur dan Ak Koyunlu atau white sheep (domba putih) yang berkuasa dibagian barat. Yang pertama beraliran Syiah, sedangkan yang kedua beraliran Sunni. Kecenderungan memasuki dunia politik secara konkret tampak pada masa kepemimpinan Junaid (1447-1460 M). Dinasti Safawi memperluas gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Junaid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa diwilayah itu. Dalam konflik tersebut Junaid kalah dan diasingkan ke suatu tempat. Ditempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, Ak Koyunlu (domba putih), juga suatu suku bangsa Turki. Disebabkan kegiatan politiknya, Junaid, pemimpin safawi meninggalkan Ardabil karena mendapat tekanan dari raja Kerajaan Kara Koyunlu yang berkuasa di daerah itu. Ia meminta suaka politik kepada Raja Ak Koyunlu sekaligus mengadakan aliansi politik untuk bersama-sama menghadapi Kara Koyunlu. Selama dalam pengasingannya, Junaidi tidak tinggal diam, ia justru dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Aliansi politik yang diperkuat kekerabatan ini diperkuat lagi oleh adanya perkawinan dari isterinys Despin Katrina, puteri Kaloo Johannis, seorang Raja Kristen di Pantai Timur Laut Hitam. Perubahan safawi dari gerakan keagamaan ke gerakan politik cukup menarik karena sebagai tarekat sufi yang lebih bersifat ukhrawi kemudian menjadi duniawi (profan). Faktor utama yang menyebabkan adanya perubahan tersebut adalah ada pada ajaran tarekat itu sendiri, yaitu hubungan antara pemimpin tarekat dengan pengikut-pengikutnya. Pemimpin tarekat yang disebut mursyid mempunyai wakil (khalifah) di daerah-daerah tertentu tempat pengikut-pengikutnya berada. Anggota tarekat harus tunduk secara mutlak kepada mursyid dan khalifah itu. Oleh karena itu, ikatan antara pemimpin dengan pengikutnya sangat kuat, sehingga ada semacam hierarki spritual. Dalam tarekat safawi, pemimpin tarekat yang meninggal dunia selalu digantikan oleh anaknya seperti dalam kepemimpinan dinasti. Ini menjadi modal dasar yang mendorong perubahan tersebut. Jika sang pemimpin seperti Junaid memiliki ambisi politik, para pengikutnya dapat disulap menjadi tentara yang fanatik dan mendukung ambisi politik pemimpinnya. Anak Junaidi yaitu Haidar ketika itu masih kecil dalam asuhan Uzun Hasan. Oleh karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru dapat diserahkan kepadanya secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan Haidar dengan Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salah seorang puteri Uzun Hasan. Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang kemudian hari menjadi pendiri Kerajaan Safawiyah di Persia. Pada 1459 M, Junaid berusaha menyerang Ardabil, tetapi gagal. Kegagalan yang sama dialaminya pula ketika menyerang daerah Utara yang didiami orang-orang Kristen Georgia dan Chircasia. . Kemenangan terhadap Kara Koyunlu tahun 1476 M membuat gerakan militer di Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh Ak Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal Safawi adalah sekutu Ak Koyunlu. Ak Koyunlu berusaha melenyapkan kekuasaan Dinasti Safawiyah. Karena itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, ia mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan dan pasukan Haidar mengalami kekalahan dalam suatu peperangan di wilayah Sircassia dan Haidar terbunuh. Haidar pun mengikuti jejak ayahnya. Ia mencoba menyerang daerah-daerah Kristen di Utara, tetapi gagal. Adanya kecenderungan untuk menyerbu daerah Utara tersebut, di mungkinkan untuk memperoleh daerah pijakan yang akan memperkuat basis politik yang independen karena selama ini safawi hanya merupakan dinasti politik spritual tanpa tanah air. Meskipun Haidar belum mewujudkan cita-cita gerakan safawi, namun ia sempat memberikan atribut kepada pendukung-pendukungnya berupa membuat perlambang baru dari pengikut tarekatnya, yaitu serban merah mempunyai 12 jambul sebagai lambang dari 12 imam sehingga terkenal dengan sebutan Kepala Merah atau Qizilbash. Umbai dua belas menunjukkan Syiah Imamiah. Dua belas yang menjadi anutannnya. Atribut ini sangat besar pengaruhnya dalam menanamkan fanatisme, militansi serta pertumbuhan dan perkembangan Kerajaan Safawi yang diagungkan dalam mazhab Syi’ah Itsna Asyriah Ali, putra dan pengganti Haidar, didesak oleh bala tentaranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap Ak Koyunlu. Setelah Ak Koyunlu menumbangkan Kara Koyunlu pada tahun 1467 M, aliansi safawi dengan Ak Koyunlu menjadi guncang. Ak Koyunlu menggangap safawi sebagai kekuatan politik yang bisa membahayakan kelestarian kekuasaannya di Persia. Ali bin Haidar yang menggantikan kekuasaan ayahnya sebagai pemimpin safawi tetapi Ya’kub pemimpin Ak Koyunlu dan dibuang ke Fars bersama ibu dan dua orang saudaranya, Ibrahim dan Ismail selama empat setengah tahun (1589-1593M). Situasi ini mendorong pengikut-pengikut safawi di Persia, Armenia, Anatolia, dan Syria mengonsolidasikan kekuatan sendiri, seghingga Ali dilepaskan. Tetapi keadaan ini tidak langsung lama. Ketika penguasa Ak Koyunlu berikutnya dipegang Rustam, Ali ditangkap kembali oleh Rustam dan dibuang ke Ray sampai akhirnya dibunuh. Setelah saudara sepupu Rustam dapat dikalahkan. Ali bersaudara kembali ke Ardabil. Akan tetapi tidak lama kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara, dan Ali terbunuh dalam serangan ini (1494 M). Sebelum meninggal, Ali sempat mengangkat adik bungsunya, Ismail bin Khaidar yang waktu itu berusia 7 tahun untuk menjadi pemimpin safawi. Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada ditangan Ismail, yang saat itu masih berusia 7 tahun. Selama lima tahun Ismail bersama pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbajian, Syiria, dan Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan tersebut dinamakan Qizilbash (baret merah). Kerajaan Safawi Iran ini berkuasa selam 2 abad. Dan terbagi menjadi beberapa periode: 1. Periode pertama terkenal dengan menonjolnya pertentangan kesukuan. 2. Periode kedua dengan banyaknya pertentangan internal kesukuan dan sistem kekuasaan politik. Dibawah kepemimpinan Ismail, yang masih remaja ia berusaha memanfaatkan kedudukannnya sebagai mursyid safawiyah dan pemimpin gerakan safawi untuk mengonsolidasikan kekuatan politiknya. Secara sembunyi ia menjalin hubungan dengan pengikut-pengikutnya yang tersebar luas dimana-mana. Dalam waktu kurang lebih lima tahun, ia berhasil menyatukan kekuatan politik yang sangat besar dan mulai melakukan perhitungan terhadap musuh-musuh safawi selama ini, seperti penguasa Ak Koyunlu dean Sirwan. Pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan Ak Koyunlu dengan Sirwan di Sharus, dekat Nakhchivan dengan kemenangan dipihak Safawi. Pasukan ini terus berusaha memasuki dan menakhlukan Tabriz, ibukota Ak Koyunlu, dan berhasil merebut dan mendudukinya. Pada tahun itu juga Ismail dengan penuh kemenangan memasuki kota Tabriz dan dikota ini Ismail memproklamatirkan dirinya sebagai raja pertama Dinasti Safawi. Ismail inilah yang dipandang sebagai pendiri yang pertama dari Kerajaan Safawiyah. Dan menjadikan Syiah Itsna Asyariah sebagai ideologi negara. Ia disebut juga sebagai Ismail I. Ismail I berkuasa selama lebih kurang 23 tahun, yaitu antara tahun 1501-1524 M. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Ia dapat menghancurkan sisa-sisa kekuatan Ak Koyunlu di Hamadan (1503 M), menguasai Provinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan, dan Yazd (1504 M), Diyar Bakr (1505-1507 M), dan Khurasan (1510 M). Hanya dalam waktu sepuluh tahun itu wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur bulan Sabit Subur (Fortile Crescent). Tidak sampai disitu , ambisi politik mendorongnya untuk terus mengembangkan sayap menguasai daerah-daerah lainnya, seperti ke Turki Usmani. Namun , Ismail bukan hanya menghadapi musuh yang sangat kuat, tetapi juga sangat membenci golongan Syi’ah. Peperangan dengan Turki Usmani terjadi tahun 1514 M di Chaldiran, dekat Tabriz. Karena keunggulan organisasi militer Kerajaan Usmani, dalam peperangan ini Ismail I mengalami kekalahan, malah Turki Usmani dibawah kepemimpinan Sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi terselamatkan dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki karena teradi perpecahan di kalangan militer Turki di negerinya. Kekalahan tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail. Akibatnya, kehidupan Ismail I berubah. Ia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu. Keadaan ini menimbulkan dampak negatif bagi Kerajaan Safawi, yaitu terjadinya persaingan segitiga antara pimpinan suku-suku Turki, pejabat-pejabat keturunan Persia, dan Qizilbash dalam merebut pengaruh untuk memimpin Kerajaan Safawi. Rasa permusuhan dengan Kerajaan Usmani terus berlangsung sepeninggal Ismail. Peperangan-peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada zaman pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M), dan Muhammad Khudabanda (1577-1587 M). Pada masa tiga raja tersebut Kerajaan Safawi dalam keadaan lemah. Di samping karena sering terjadi peperangan melawan Kerajaan Usmani yang lebih kuat, juga karena sering terjadi pertentangan antara kelompok-kelompok di dalam negeri. Kondisi memperihatinkan ini baru bisa diatasi setelah Raja Safawi kelima, Abbas I, naik tahta. Ia memerintahkan dari tahun 1588-1628 M. Masa kekuasaannya merupakan puncak kejayaan Kerajaan Safawi. Secara politik ia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa Raja-raja sebelumnya. Langkah-langkah yang ditempuh Abbas I dalam rangka memulihkan Kerajaan Safawi adalah: 1. Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash atas Kerajaan Safawi dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak-budak, berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak Raja Tahmatsp I. 2. Mengadakan peranjian damai dengan Turki Usmani dan merelakan memberikan wilayah Azerbajian , Georgia, dan sebagian wilayah Luristan. 3. Tidak menghina tiga khalifah pertama dalam islam ( Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, dan Usman) dalam khotbah-khotbah Jum’at. Usaha-usaha yang dilakukan Abbas I tersebut berhasil membuat Kerajaan kuat kembali. Setelah itu ia mulai memusatkan perhatiannya keluar dengan berusaha merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang hilang. Pada tahun 1958 M, ia menyerang dan menakhlukan Herat. Dari sana, ia melanjutkan serangan merebut Marw dan Balkh. Setelah kekuatan terbina dengan baik, ia juga berusaha mendapatkan kembali wilayah kekuasaannya dari Turki Usmani. Rasa permusuhan antara dua kerajaan yang berbeda aliran agama ini memang tidak pernah padam sama sekali. Abbas I mengarahkan serangan-serangannya kewilayah kekuatan Kerajaan Usmani itu. Pada tahun 1602 M, di saat Turki Usmani berada di wilayah Sultan Muhammad III, pasukan Abbas I menyerang dan berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas. C. Peran Dinasti Safawiyah bagi Peradaban Islam Peran kesejarahan Dinasti Safawiyah begitu besar. Hal ini dapat dilihat dari sisi kemajuan dan kejayaannya. Kendati demikian, masa kemajuan Kerajaan Safawi tidak langsung terwujud pada saat dinasti itu berdiri dibawah Ismail, raja pertama (1501-1524 M). Kejayaan safawi yang gemilang baru dicapai pada masa pemerintahan Syaikh Abbas yang agung (1587-1629 M) raja yang kelima. Walaupun begitu, peran Ismail sebagai pendiri safawi sangat besar sebagai peletak pondasi bagi kemajuan safawi di kemudian hari. Disamping telah memberikan corak yang khas bagi safawi dengan menetapkan syiah sebagai agama negara, Syaikh Ismail juga telah memberikan dua karya besar bagi negaranya, yaitu perluasan wilayah dan penyusunan struktur pemerintahan yang unik pada masanya. Selama sepuluh tahun pertama pemerintahannya, Ismail berhasil memperluas wilayah pemerintahan safawi sampai mencakup seluruh wilayah Persia dan sebelah timur Fertile Creschen. Ini diperolehnya dengan pengorbanan keberaniannya yang besar. Pada tahun 1502 M, Ismail telah menduduki Sirwan, Azerbajian dan Irak. Pada tahaun 1503 M, ia menghancurkan sisa-sisa tentara Ak Koyunlu di Hamadzan. Pada tahun 1504 menduduki provinsi Kaspia dari Mazandaran dan Gurgan. Diyar Bakr ditaklukkan pada tahun 1505 M ia menguasai Khurasan setelah terlibat dalam pertempuran dengan Syaibani Khan, Raja Uzbek. Kemenangan beruntun itu merupakan sukses mewujudkan Kerajaan Safawi dengan membentang dari Heart (Harat) di Tiur sampai Diyar Bakr di Barat. Mungkin karena kesuksesan besar itu, ia oleh para pengikutnya terutama Qizilbash sebagai penduduknya, dianggap sebagai seorang raja yang memiliki unsur keilahian. Bahkan ia pun menganggap dirinya sebagai manifestasi Tuhan. Perlahan-lahan mitos keilahian Syaikh Ismail itu goyah. Dalam pertempuran di Kalderan melawan pasukan Turki Utsmani, ia mengalami kekalahan besar. Beberapa daerahnya termasuk Tabriz jatuh ketangan Turki Utsmani. Ia terpaksa mendatangani perjanjian dengan Utsmani. Adapun beberapa peninggalan dari Kerajaan Safawiyah namanya Museum Aya Sofia. Sebelum menjadi museum, bangunan ini dulunya adalah masjid. Dan sebelum menjadi masjid, ia adalah gereja yang bernama Haghia Sopia.Usia bangunan ini sudah sangat tua, sekitar lima abad. Bangunan ini merupakan kebanggaan masyarakat Muslim di Istanbul, Turki. Keindahan arsitekturnya begitu mengagumkan para pengunjung. Karenanya, jika berkunjung ke Istanbul, belum lengkap tanpa melihat kemegahan Aya Sofia. Tampak dari luar, pengunjung disuguhkan ukuran kubah yang begitu besar dan tinggi. Ukuran tengahnya 30 meter, tinggi dan fundamennya 54 meter. Ketika memasuki area bangunan, pengunjung dibuai oleh keindahan interior yang dihiasi mosaik dan fresko. Tiang-tiangnya terbuat dari pualam warna-warni. Sementara dindingnya dihiasi beraneka ragam ukiran.Selain keindahan interior, daya tarik bangunan ini juga didapat dari nilai sejarahnya. Di sinilah simbol pertarungan antara Islam dan non-Islam, termasuk di dalamnya nilai-nilai sekuler pascaruntuhnya Kekhalifahan Turki Usmani. Sebelum diubah menjadi masjid, Aya Sofia adalah sebuah gereja bernama Hagia Sophia yang dibangun pada masa Kaisar Justinianus (penguasa Bizantium), tahun 558 M. Arsitek Gereja Hagia Sophia ini adalah Anthemios dari Tralles dan Isidorus dari Miletus. Berkat tangan Anthemios dan Isidorus, bangunan Hagia Sophia muncul sebagai simbol puncak ketinggian arsitektur Bizantium. Kedua arsitek ini membangun Gereja Hagia Sophia dengan konsep baru. Hal ini dilakukan setelah orang-orang Bizantium mengenal bentuk kubah dalam arsitektur Islam, terutama dari kawasan Suriah dan Persia. Keuntungan praktis bentuk kubah yang dikembangkan dalam arsitektur Islam ini, terbuat dari batu bata yang lebih ringan daripada langit-langit kubah orang-orang Nasrani di Roma, yang terbuat dari beton tebal dan berat, serta mahal biayanya. Oleh keduanya, konsep kubah dalam arsitektur Islam ini dikombinasikan dengan bentuk bangunan gereja yang memanjang. Dari situ kemudian muncullah bentuk kubah yang berbeda secara struktur, antara kubah Romawi dan kubah Bizantium. Pada arsitektur Romawi, kubah dibangun di atas denah yang sudah harus berbentuk lingkaran, dan struktur kubahnya ada di dalam tembok menjulang tinggi, sehingga kubah itu sendiri hampir tidak kelihatan. Sedangkan kubah dalam arsitektur Bizantium dibangun di atas pendentive--struktur berbentuk segitiga melengkung yang menahan kubah dari keempat sisi denah persegi--yang memungkinkan bangunan kubah tersebut terlihat secara jelas. Bangunan gereja ini sempat hancur beberapa kali karena gempa, kemudian dibangun lagi. Pada 7 Mei 558 M, di masa Kaisar Justinianus, kubah sebelah timur runtuh terkena gempa. Pada 26 Oktober 986 M, pada masa pemerintahan Kaisar Basil II (958-1025), kembali terkena gempa. Akhirnya, renovasi besar-besaran dilakukan agar tak terkena gempa di awal abad ke-14. Pada 27 Mei 1453, Konstantinopel takluk oleh tentara Islam di bawah pimpinan Muhammad II bin Murad II atau yang terkenal dengan nama Al-Fatih yang artinya sang penakluk. Saat berhasil menaklukkan kota besar Nasrani itu, Al-Fatih turun dari kudanya dan melakukan sujud syukur. Ia pergi menuju Gereja Hagia Sophia. Saat itu juga, bangunan gereja Hagia Sophia diubah fungsinya menjadi masjid yang diberi nama Aya Sofia. Pada hari Jumatnya, atau tiga hari setelah penaklukan, Aya Sofia langsung digunakan untuk shalat Jumat berjamaah.Sepanjang kekhalifahan Turki Usmani, beberapa renovasi dan perubahan dilakukan terhadap bangunan bekas gereja Hagia Sophia tersebut agar sesuai dengan corak dan gaya bangunan masjid. Dalam sejarah arsitektur Islam, orang-orang Turki dikenal sebagai bangsa yang banyak memiliki andil dalam pengembangan arsitektur Islam ke negara-negara lainnya. Sementara dalam masalah keagamaan, orang-orang Turki terkenal sangat bijak, sebab mereka tidak memaksakan penduduk daerah taklukannya untuk masuk Islam, meskipun mereka berani berperang untuk membela Islam. Karena orang-orang Turki yang beragama Islam cukup arif, maka ketika Gereja Hagia Sophia dialihfungsikan menjadi masjid pada 1453, bentuk arsitekturnya tidak dibongkar. Kubah Hagia Sophia yang menjulang ke atas dari masa Bizantium ini tetap dibiarkan, tetapi penampilan bentuk luar bangunannya kemudian dilengkapi dengan empat buah menara. Empat menara ini, antara lain, dibangun pada masa Al-Fatih, yakni sebuah menara di bagian selatan. Pada masa Sultan Salim II, dibangun lagi sebuah menara di bagian timur laut. Dan pada masa Sultan Murad III, dibangun dua buah menara. Pada masa Sultan Murad III, pembagian ruangnya disempurnakan dengan mengubah bagian-bagian masjid yang masih bercirikan gereja. Termasuk, mengganti tanda salib yang terpampang pada puncak kubah dengan hiasan bulan sabit dan menutupi hiasan-hiasan asli yang semula ada di dalam Gereja Hagia Sophia dengan tulisan kaligrafi Arab. Altar dan perabotan-perabotan lain yang dianggap tidak perlu, juga dihilangkan. Begitu pula patung-patung yang ada dan lukisan-lukisannya sudah dicopot atau ditutupi cat. Lantas selama hampir 500 tahun bangunan bekas Gereja Hagia Sophia berfungsi sebagai masjid. Akibat adanya kontak budaya antara orang-orang Turki yang beragama Islam dengan budaya Nasrani Eropa, akhirnya arsitektur masjid yang semula mengenal atap rata dan bentuk kubah, kemudian mulai mengenal atap meruncing. Setelah mengenal bentuk atap meruncing inilah merupakan titik awal dari pengembangan bangunan masjid yang bersifat megah, berkesan perkasa dan vertikal. Hal ini pula yang menyebabkan timbulnya gaya baru dalam penampilan masjid, yaitu pengembangan lengkungan-lengkungan pada pintu-pintu masuk, untuk memperoleh kesan ruang yang lebih luas dan tinggi. Perubahan drastis terjadi di masa pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk di tahun 1937. Penguasa Turki dari kelompok Muslim nasionalis ini melarang penggunaan bangunan Masjid Aya Sofia untuk shalat, dan mengganti fungsi masjid menjadi museum. Mulailah proyek pembongkaran Masjid Aya Sofia. Beberapa desain dan corak bangunan yang bercirikan Islam diubah lagi menjadi gereja. Sejak difungsikan sebagai museum, para pengunjung bisa menyaksikan budaya Kristen dan Islam bercampur menghiasi dinding dan pilar pada bangunan Aya Sofia. Bagian di langit-langit ruangan di lantai dua yang bercat kaligrafi dikelupas hingga mozaik berupa lukisan-lukisan sakral Kristen peninggalan masa Gereja Hagia Sophia kembali terlihat. Sementara peninggalan Masjid Aya Sofia yang menghiasi dinding dan pilar di ruangan lainnya tetap dipertahankan.Sejak saat itu, Masjid Aya Sofia dijadikan salah satu objek wisata terkenal di Istanbul oleh pemerintah Turki. Nilai sejarahnya tertutupi gaya arsitektur Bizantium yang indah memesona. Menjadi Inspirasi dalam Perkembangan Arsitektur Islam, Arsitektur Islam dapat dikatakan identik dengan arsitektur masjid. Sebab, ciri-ciri arsitektur Islam dapat terlihat jelas dalam perkembangan arsitektur masjid. Salah satu masjid yang gaya arsitekturnya banyak ditiru oleh para arsitek Muslim dalam membangun masjid di berbagai wilayah kekuasaan Islam adalah Masjid Aya Sofia di Istanbul, Turki. Desain dan corak bangunan Aya Sofia sangat kuat mengilhami arsitek terkenal Turki Sinan (1489-1588) dalam membangun masjid. Sinan merupakan arsitek resmi kekhalifahan Turki Usmani dan posisinya sejajar dengan menteri.Kubah besar Masjid Aya Sofia diadopsi oleh Sinan--yang kemudian diikuti oleh arsitek muslim lainnya--untuk diterapkan dalam pembangunan masjid. Salah satu karya terbesar Sinan yang mengadopsi gaya arsitektur Aya Sofia adalah Masjid Agung Sulaiman di Istanbul yang dibangun selama 7 tahun (1550-1557). Seperti halnya Aya Sofia, masjid yang kini menjadi salah satu objek wisata dunia itu memiliki interior yang megah, ratusan jendela yang menawan, marmer mewah, serta dekorasi indah. Dalam sejarah arsitektur Islam, orang-orang Turki dikenal sebagai bangsa yang banyak memiliki andil dalam pengembangan arsitektur Islam hingga ke negara lainnya. Misalnya Dinasti Seljuk yang menampilkan tiga ciri arsitektur Islam, khususnya arsitektur masjid. Pertama, Dinasti Seljuk tetap mengembangkan konsep mesjid asli Arab, dengan lapangan terbuka di bagian tengahnya. Kedua, konsep masjid madrasah dan berkubah juga dikembangkan. Ketiga, mengembangkan konsep baru setelah berkenalan dengan kebudayaan Barat, terutama pada masa Dinasti Umayyah.Ketika orang-orang Turki memperluas kekuasaannya atas dasar kepentingan ekonomi dan militer pada abad ke-11, mereka akhirnya bisa menguasai Bizantium. Saat kebudayaan Islam bersentuhan dengan kebudayaan Eropa di Kerajaan Romawi Timur (Bizantium/Konstantinopel) pada abad ke-11, arsitektur Islam juga menimba teknik dan bentuk arsitektur Eropa, yang tumbuh dari arsitektur Yunani dan Romawi. Sebaliknya, teknik dan bentuk arsitektur Islam yang dibawa oleh bangsa Turki juga disadap oleh bangsa Romawi untuk dikembangkan di Kerajaan Romawi Timur. Akibat adanya kontak budaya antara orang-orang Muslim Turki dan budaya Nasrani di Eropa Timur inilah, arsitektur Islam yang semula hanya mengenal atap bangunan rata dan bentuk kubah, kemudian mulai mengenal atap meruncing ke atas. Selain itu, sejak bersentuhan dengan kebudayaan Kerajaan Romawi Timur ini juga, arsitektur Islam mulai mengenal arsitektur yang bersifat megah, berkesan perkasa, dan vertikalisme. D. Kemajuan dan Kemunduran Kerajaan Safawiyah a. Kemajuan Kerajaan Safawi Kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan Safawi tidak hanya di bidang politik saja, melainkan dibidang lain juga mengalami kemajuan. Bidang tersebut diantaranya adalah: 1. Bidang Ekonomi Keberadaan stabilitas politik Kerajaan Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian. Terlebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan dikuasainya Bandar ini maka salah satu jalur perdagangan laut antara timur dan barat yang diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik Kerajaan Safawi. Disamping bidang perdagangan, Kerajaan Safawi juga mengalami kemajuan dalam sektor pertanian terutama di daerah Sabit Subur (Fortile Crescent). 2. Bidang Ilmu Pengetahuan Dalam sejarah Islam bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada masa itu tradisi keilmuan tetap terus berlanjut. Beberapa tokoh ilmuwan yang terkenal antara lain: Bahauddin Syaerazi seorang generalis ilmu pengetahuan, Muhammad Baqir seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan sains, Safawiyah lebih maju dari kerajaan lainnya pada masa yang sama. 3. Bidang Arsitektur Penguasa Kerajaan Safawi telah berhasil menciptakan Isfahan, ibukota kerajaan menjadi kota yang sangat indah. Di kota Isfahan ini berdiri bangunan-bangunan besar dengan arsitektur bernilai tinggi dan indah seperti masjid, rumah sakit, sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chihil Sutun. Disebutkan dalam kota Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum. Dalam bidang kesenian, kemajuan tampak begitu kentara dalam gaya arsitektur bengunan-bangunannya, seperti terlihat pada Masjid Shah yang dibangun tahun 1611 M, dan Masjid Syaikh Lutfillah yang dibangun tahun 1603 M. 4. Bidang Kesenian Kerajaan Safawi mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam bidang seni, antara lain dalam bidang kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya. Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Tahmasp I. Raja Ismail I pada tahun 1522 M membawa seorang pelukis timur bernama Bizhad ke Tabriz. 5. Bidang Tarekat Sebagaimana diketahui bahwa cikal bakal Kerajaan Safawi adalah gerakan sufistik, yaitu gerakan tarekat. Oleh karena itu, kemajuan di bidang tarekat pun cukup maju. Bahkan gerakan tarekat pada masa ini tidak hanya berfikir dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang politik dan pemerintahan. Beberapa kemajuan dalam bidang peradaban pada masa Dinasti Safawiyah telah mengalami beberapa kemajuan. Setelah itu, Kerajaan ini mengalami masa-masa kemunduran. Kemajuan yang pernah dicapai membuat Kerajaan ini menjadi salah satu dari tiga kerajaan besar di kalangan umat Islam pada masa itu yang disegani oleh kekuatan negara lain, terutama dalam bidang politik dan militer. Sekalipun Dinasti Safawiyah tidak setaraf dengan kemajuan yang pernah dicapai Islam pada masa klasik, tetapi kerajaan ini telah memberikan sumbangan kontribusi yang cukup besar dalam bidang peradaban melalui kemajuan-kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, arsitektur, kesenian, dan tarekat. b. Kemunduran Kerajaan Safawi 1. Ketidakcakapan pemimpin dekandensi moral yang melanda pemimpinnya. 2. Lemahnya pemerintahan dan pertahanan serta keamanan. 3. Gagalnya kebijakan pemusatan pemerintahan dan ekonomi. 4. Konflik berkepanjangan dengan Kerajaan Usmani. 5. Terjadinya konflik intern dan perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana. Adapun penguasa-penguasa Kerajaan Safawiyah secara berurutan,adalah: No Nama Tahun Pemerintahan Uraian 1. Ismail 1501-1524 Dalam jangka waktu 10 tahun mampu menguasai seluruh Persia, namun di akhir pemerintahannya Ismail mengalami “stres” akibat kekalahannya, dan kondisi ini secara tidak langsung memperkeruh politik dalam negerinya. 2. Tahmasp 1524-1576 Masih saja terjadi peperangan dengan Turki Usmani dan adanya konflik dalam tubuh Qizilbish. 3. Ismail II 1576-1577 Masih saja terjadi peperangan dengan Turki Usmani, dan Qizilbish merupakan sebab keruntuhannya. 4. M. Khudabanda 1577-1787 Masih saja terjadi peperangan dengan Turki Usmani dan terjadi kudeta oleh anaknya Abbas I 5. Abbas I 1586-1628 Mampu menstabilkan politik dengan cara: 1. Menghilangkan dominasi Qizilbish dengan membentuk pasukan baru. 2. Mengadakan perjanjian damai dengan cara menyerahkan wilayah Azerbajian dan Georgia. 3. Tidak menghina 3 khulafa al-Rasyidun. 6. Safi Mirza 1628-1642 Lepasnya kota Qandahar, suka minum-minuman keras. 7. Abbas II 1642-1667 Mempunyai jiwa kepemimpinan seperti kakeknya, dimana ia terus mengembangkan bidang keagamaan. 8. Sulaiman 1667-1694 Identik dengan jiwa pemimpin yang lemah dan pemabuk, ini mengakibatkan para ulama mengambil alih kekuasaan dibawah komando Muhammad Bagir. 9. Husein 1694-1722 Pemerintahannya didominasi Muhammad Baigir. 10. Tahmasp II 1722-1732 Safawiyah semakin rauh, dan adanya pasukan Afghanistan telah berhasil mendudukinya. 11. Abbas III 1732-1736 Kepemimpinan yang dicapai tidak jauh dari Abbas III BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Dinasti Safawiyah di Persia berkuasa antara tahun 1502-1722 M. Dinasti Safawiyah merupakan kerajaan Islam di Persia yang cukup besar. Awalnya Kerajaan Safawiyah berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijian. Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Shafi Ad-Din Ishak Al-Ardabily (1252-1334 M), enam tahun sebelum Hulagu Khan menghancurkan Bagdad dan mengakhiri Dinasti Abbasiyah. Ia lahir di kota Ardabil, sebuah kota timur dari Azerbajian. . Shafi Ad-Din merupakan keturunan dari Imam Syiah yang keenam, Musa Al-Kazhim. Menurut P.M. Holt, Kerajaan Safawi mempunyai dua fase, selama fase pertama ini gerakan safawi mempunyai dua warna. Pertama, bernuansa sunni, yaitu pada masa pimpinan Shafiudin Ishak(1301-1344 M) dan anaknya Shadruddin Musa (1344-1399 M). Kedua, berubah menjadi syiah pada masa pimpinan Khawaja Ali anak Shadruddin (1399-1427 M). Pada masa 1447-1501 M, gerakan safawi memasuki tahap atau fase kedua, yaitu gerakan politik (struktural). Pimpinannya pada waktu itu adalah Junaid bin Ali, mengubahnya menjadi gerakan politik revolusioner dengan tarekat safawiyah sebagai sarannya. Dengan demikian, safawi mulai terlibat dalam konflik politik dengan kekuatan politik lain yang ada di Persia saat itu. Peran kesejarahan Dinasti Safawiyah begitu besar. Hal ini dapat dilihat dari sisi kemajuan dan kejayaannya. Kendati demikian, masa kemajuan Kerajaan Safawi tidak langsung terwujud pada saat dinasti itu berdiri dibawah Ismail, raja pertama (1501-1524 M). Kejayaan safawi yang gemilang baru dicapai pada masa pemerintahan Syaikh Abbas yang agung (1587-1629 M) raja yang kelima. Kemajuan Kerajaan Safawi bisa dilihat dari bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, arsitektur, kesenian, dan tarekat. Adapun yang menyebabkan kemunduran yang terjadi pada masa Kerajaan Safawiyah, yakni : 1. Ketidakcakapan pemimpin dekandensi moral yang melanda pemimpinnya. 2. Lemahnya pemerintahan dan pertahanan serta keamanan. 3. Gagalnya kebijakan pemusatan pemerintahan dan ekonomi. 4. Konflik berkepanjangan dengan Kerajaan Usmani. 5. Terjadinya konflik intern dan perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana. B. SARAN Demikianlah makalah yang kami buat, kami menyadari dalam penulisan dan penyusunan maupun pembuatan makalah ini banyak sekali kesalahan dan kekurangan, untuk itu kami membutuhkan kritik dan saran yang konstruktif guna lebih menyempurnakan makalah yang kami harapkan, semoga makalah ini bisa memberikan manfaat dan pengetahuan bagi yang membaca pada umumnya dan pemakalah khususnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar